Tuesday, March 6, 2007

PLTU Labuan Banten

Sebuah pusat listrik tenaga uap (PLTU) akan segera dibangun di daerah Kabupaten Pandeglang, Jawa Barat. Suatu bentuk pembangkit tenaga listrik yang menggunakan tenaga uap air sebagai penggerak turbin-generator. Uap air tersebut dihasilkan dari pembakaran bahan bakar, yang dalam hal ini berupa batubara.

Tepatnya, PLTU tersebut akan berlokasi di daerah Kecamatan Labuan. Itulah sebabnya proyek PLTU tersebut dinamai proyek PLTU Labuan. PLTU ini akan berkapasitas 2 (unit mesin) x 300 Mega Watt (MW). Bandingkan dengan PLTU Suralaya di daerah Merak, Banten. Dari tujuh (7) unit pembangkit di komplek PLTU tersebut, diantaranya memiliki kapasitas 600 MW per unit. Bahan bakarnya juga batubara

Proyek PLTU Labuan merupakan salah satu diantara 10 proyek pembangkitan di Jawa, bagian dari program percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik PLTU 10.000 MW dengan target rampung di tahun 2009. Sebuah program yang peluncurannya dilatarbelakangi adanya keterlambatan penyelesaian proyek pembangunan pembangkitan rancangan sebelumnya, sebagai antisipasi terhadap kekurangan pasokan listrik di tahun 2008 dan ketidakpastian pasokan gas alam untuk pembangkitan. Diasumsikan, kekurangan pasokan gas tersebut sampai tahun 2010. Pada bagian lain diketahui banyaknya batubara berkalori rendah yang terkandung di Sumatera dan Kalimantan.

Pengembang PLTU Labuan, berdasar hasil lelang yang dilaksanakan panitia lelang proyek PLTU kelas 300 – 400 MW di PLN Kantor Pusat, Jakarta, adalah Chengda Engineering Corporation of China (Chengda).. Kriteria utama yang menentukan suatu perusahaan atau konsorsium perusahaan-perusahaan sebagai pemenang lelang tersebut adalah pengalaman atau kemampuannya membangun PLTU batubara minimal berkapasitas 200 MW dan kemampuan menyediakan dana minimal 85 % dari total biaya investasi yang dibutuhkan untuk membangun PLTU tersebut. Chengda sebelumnya membangun PLTU Cilacap di Jawa Tengah, dengan kapasitas juga 2 x 300 MW

Terlepas dari siapa atau perusahaan mana yang akan membangun, ada sejumlah hal yang perlu kita perhatikan, terutama warga masyarakat yang tinggal di daerah sekitar lokasi proyek PLTU tersebut. Dalam hal ini menyangkut masalah lingkungan hidup.

Seperti halnya proyek-proyek pembangunan PLTU lainnya, tidak akan dapat dihindari bahwa pembangunan PLTU tersebut juga akan memberi dampak, baik yang positif maupun yang negatif. Untuk mengidentifikasi dampak yang mungkin timbul dan mengantisipasi penanggulangan dampak negatifnya, maka studi lingkungan harus dilakukan oleh pelaksana studi atas nama atau atas pesanan pemilik proyek tersebut. Landasannya adalah Undang-undang No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang antara lain mengamanatkan bahwa setiap rencana yang diperkirakan akan berdampak penting terhadap lingkungan, wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Hal ini meliputi pembuatan Kerangka Acuan (KA), Analisis Dampak Lingkungan (Andal), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL). Penyusunannya mengacu ke Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Salah satu prinsip dalam studi lingkungan tersebut, dampak positif dari proyek pembangunan, lalu dilanjutkan dengan pengoperasian PLTU itu, harus diupayakan untuk dapat ditingkatkan. Sedangkan dampak negatifnya harus diupayakan untuk dikurangi hingga sekecil mungkin. Sebagaimana halnya proyek-proyek PLTU lain, dampak positif dari proyek PLTU Labuan juga banyak. Tetapi tidak akan dipaparkan dalam sajian ini. Dalam tulisan ini lebih focus ke masalah dampak negatif terhadap lingkungan yang mungkin/akan timbul dari jalannya proyek pembangunan, lalu dilanjutkan dengan pengoperasian PLTU tersebut, untuk kita cermati dan antisipasi, dengan mendorong pemilik dan pelaksana proyek PLTU itu mengendalikan, mengelola dan atau mengupayakan untuk memperkecil dampak negatif tersebut hingga serendah mungkin.

Acuan Proyek

Instalasi PLTU pada umumnya memiliki banyak peralatan. Karena itu membutuhkan lahan cukup luas. Sebagian dari sejumlah faktor utama yang menentukan apakah kapasitas PLTU Labuan bisa dibangun atau tidak dengan kapasitas 2 x 300 MW adalah adanya pasokan air untuk pendinginan dan adanya pemenuhan kebutuhan terhadap batubara, yang berkelanjutan. Air pendinginnya, besar kemungkinan akan diambilkan dari laut. Sedangkan batubara yang diperlukan sebagai bahan bakarnya akan didatangkan dari luar Jawa, dengan menggunakan kapal angkut batubara. Sebab itu pelabuhan khusus batubara dibutuhkan. Itulah sebabnya PLTU Labuan dibangun tidak jauh dari pantai.

Mengingat hal-hal seperti itu pula maka sebuah PLTU baru ekonomis untuk dibangun dengan kapasitas terpasang lebih dari 10 Mega Watt (MW) dengan prinsip, semakin besar kapasitas PLTU dibangun, harga proyeknya semakin ekonomis.

Meski begitu dalam hal pemilihan lokasinya, perlu menghindari daerah-daerah sensitif yang dapat menimbulkan dampak negatif penting. Diantaranya daerah yang terdapat peninggalan sejarah, yang padat penduduk dan atau yang memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang secara ekologis maupun ekonomis layak untuk dilestarikan.

Gas buang yang keluar dari cerobong PLTU umumnya berpotensi mengotori lingkungan. Untuk meminimalisasikannya, PLTU tersebut perlu dipasangi perangkap abu. Selain abu halus yang ditangkap di cerobong, ada juga bagian-bagian abu yang berukuran relatif besar. Abu ini biasanya jatuh dan ditangkap di bagian bawah ruang bakar.

Walaupun abunya telah ditangkap, kalangan ahli lingkungan dan ahli ketenagalistrikan menyadari (bandingkan Marsudi, 2003) bahwa gas buang yang keluar dari cerobong masih mengandung gas-gas yang kurang baik bagi kesehatan manusia, seperti SO2, NOx dan CO2. Kadar dari gas-gas ini tergantung pada mutu bahan bakarnya, dalam hal ini berupa batubara. Karena itu perlu dipasang pula alat penyaring gas. Sehingga kadar gas yang masuk ke udara tidak melampui batas yang diizinkan oleh pemerintah.

Berkaitan dengan semua itu, menjadi acuan proyek-proyek pembangunan pembangkitan PLN selama ini bahwa layak lingkungan merupakan factor penting untuk memperoleh lokasi yang tepat dan menentukan layak tidaknya proyek tersebut diwujudkan. Faktor-faktor penting lainnya menyangkut kelayakan teknis dan kelayakan finansial.

Untuk mengetahui bagaimana tingkat kelaikan faktor-faktor tersebut, studi kelayakan harus dilakukan oleh pihak pemilik proyek melalui tim dengan tenaga-tenaga profesional, melalu kontraktor rekakannya. Dan Amdal atas proyek tersebut merupakan bagian yang perlu mendapatkan izin dari pemerintah daerah. Disamping itu juga ada hal-hal lain yang berkaitan dengan perizinan dari pemerintah. Misal penjelasan mengenai perilaku masyarakat di sekitar lokasi proyek (sosio geografis), pembebasan tanah, retribusi, penetapan tarif bea masuk barang modal dan perpajakan (keringanan atau penghapusan pajak).

Dampak PLTU

Menjadi keharusan pada tahap mula bahwa studi lingkungan dilakukan menyangkut keadaan (rona atau warna) awal lingkungan pada tapak proyek dan sekitarnya. Kondisi awal lingkungan tersebut diinventarisasi untuk membuat prediksi dampak yang diakibatkan oleh kegiatan pembangunan dan pengoperasian PLTU. Keadaan dimaksud meliput keadaan fisik kimia, flora dan fauna serta sosial ekonomi dan budaya masyarakat di daerah sekitarnya .

Ada tiga tahap kegiatan penting berkaitan dengan akan adanya proyek PLTU Labuan. Yaitu tahap prakonstruksi, tahap konstruksi dan tahap operasi.

Menoleh ke kegiatan proyek-proyek serupa sebelumnya, dampak negatif yang menonjol dalam tahap prakonstruksi biasanya menyangkut pembebasan lahan untuk tapak proyek. Tetapi dengan pemberian ganti rugi yang memadai dan transparan, dampak ini umumnya dapat diatasi. Nahh kalau dikehendaki agar pemenang lelang proyek PLTU Labuan segera bisa membangun pembangkitannya, maka tim dari Pemerintah Pusat, PLN dan Pemerintah Daerah setempat harus bekerjasama dengan baik dalam mengupayakan pembebasan lahan.

Kemudian dampak negatif yang umum terjadi pada tahap konstruksi adalah kebisingan atas pengoperasian alat-alat berat untuk konstruksi. Disamping itu kemungkinan adanya debu dan erosi yang dapat menimbulkan pendangkalan perairan terdekat. Dampak ini bersifat sementara. Dampak ini bisa dikurangi dengan dilakukan pemantauan dan pengelolaan sedemikian rupa.

Sementara dampak negatif yang terjadi memasuki tahap operasi PLTU terutama menyangkut adanya gas buang SO2 dan NOx; abu (partikulat) batubara, limbah cair berupa air buangan yang mengandung senyawa kimia tertentu; limbah padat berupa abu (abu terbang dan abu dasar).

Gas dan abu, limbah pembakaran batubara tersebut dikeluarkan ke atmosfer (lapisan udara yang menyelubungi bumi) melalui cerobong gas asap. Besarnya emisi tersebut harus memenuhi baku mutu emisi yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Apabila nanti besaran emisi (SO2, NOx dan abu) dari PLTU itu melampaui baku mutu yang ditetapkan oleh KLH maka besaran emisi tersebut harus diupayakan untuk dikurangi menjadi lebih kecil dari ketetapan baku mutunya. Di pasaran, teknologi perangkat dan metode untuk itu sudah ada. Diantaranya dengan memasang alat kontrol emisi. Tentu pemasangan alat ini akan menambah biaya pembangunan PLTU.

Setelah melewati alat kontrol, kandungan polutan pada gas buang tersebut diharapkan lebih kecil, dan memenuhi ambang baku mutu emisi. Gas buang itu kemudian dikeluarkan dari cerobong, lalu disebarkan ke udara bebas. Kualitas udara yang dipengaruhi oleh buangan polutan dari PLTU tersebut juga harus memenuhi baku mutu udara yang ditetapkan oleh KLH.

Seperti telah disinggung diatas bahwa PLTU berbahan bakar batubara tersebut juga akan menghasilkan abu. Abu yang dihasilkan dari pembakaran batubara terdiri atas: 1) Abu dasar yang berasal dari bagian bawah ruang bekar. Jumlahnya kira-kira 20 % dari kandungan abu batubara; dan 2) Sekitar 80 % lainnya berupa abu terbang, yang sebagian besar bisa ditangkap dengan peralatan bernama ESP (Electrostatic Precipitator), menggunakan bag house filter.

Dengan pengelolaan tersendiri, abu itu kemudian bisa dimanfaatkan sebagai bahan campuran semen, pembuatan jalan, conblock dan bahan keramik. Apabila tidak dimanfaatkan, abu tersebut mesti dibuang di tempat pembuangan abu yang dirancang khusus. Sehingga tidak terjadi rembesan ke dalam air tanah, akibat turunnya hujan.

Pengoperasian PLTU juga bisa mengeluarkan limbah cair berupa air larian dari timbunan batubara dan abu, air limbah pembangkit. Misal limbah bahan kimia dari air ketel (blow down) dan limbah proses demineralisasi. Sebelum dibuang ke badan air, limbah cair sebagai keluaran dari operasi PLTU tersebut harus diolah terlebih dahulu di tempat pengolahan air limbah. Dan mutu air limbah yang akan dikeluarkan dari tempat pengolah air limbah tersebut harus memenuhi baku mutu air limbah.

Suhu air pendingin yang keluar dari kondenser PLTU akan naik. Umumnya, kenaikan suhu tersebut dirancang sekitar 8 derajat Celsius. Air ini kemudian akan dikembalikan ke sumber asalnya, yang dalam hal ini air laut. Namun sebelum sampai di laut, proses pemenuhan baku mutu air tersebut harus dilalui agar tidak menimbulkan dampak pada biota perairan laut bersangkutan. Untuk memenuhi persyaratan baku mutu itu perlu dibangun saluran air pendingin yang cukup panjang agar penurunan suhu itu terjadi.

Pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang berkaitan dengan limbah-limbah tersebut diatas harus dilakukan dengan baik secara berkelanjutan. Maksudnya agar limbah-limbah keluaran dari operasi PLTU tersebut tidak melampaui baku mutu lingkungan yang disyaratkan. Dalam kaitan ini, peran aktif, obyektif dan positif masyarakat yang tinggal di daerah sekitar lokasi proyek PLTU tersebut penting, untuk mengidentifikasi dampak yang mungkin/timbul dan mengantisipasi penanggulangan dampak negatifnya. **

2 comments:

Zae said...

tolong kasih info mengenai lowongan di PLTU dong????? saya asli dari menes (deket labuan) tapi cari info lowongan PLTU Labuan susah ya....

bungazet said...

babacakan beh yu, make kotok kampung. pelem...