Tuesday, March 6, 2007

PLTU Labuan Banten

Sebuah pusat listrik tenaga uap (PLTU) akan segera dibangun di daerah Kabupaten Pandeglang, Jawa Barat. Suatu bentuk pembangkit tenaga listrik yang menggunakan tenaga uap air sebagai penggerak turbin-generator. Uap air tersebut dihasilkan dari pembakaran bahan bakar, yang dalam hal ini berupa batubara.

Tepatnya, PLTU tersebut akan berlokasi di daerah Kecamatan Labuan. Itulah sebabnya proyek PLTU tersebut dinamai proyek PLTU Labuan. PLTU ini akan berkapasitas 2 (unit mesin) x 300 Mega Watt (MW). Bandingkan dengan PLTU Suralaya di daerah Merak, Banten. Dari tujuh (7) unit pembangkit di komplek PLTU tersebut, diantaranya memiliki kapasitas 600 MW per unit. Bahan bakarnya juga batubara

Proyek PLTU Labuan merupakan salah satu diantara 10 proyek pembangkitan di Jawa, bagian dari program percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik PLTU 10.000 MW dengan target rampung di tahun 2009. Sebuah program yang peluncurannya dilatarbelakangi adanya keterlambatan penyelesaian proyek pembangunan pembangkitan rancangan sebelumnya, sebagai antisipasi terhadap kekurangan pasokan listrik di tahun 2008 dan ketidakpastian pasokan gas alam untuk pembangkitan. Diasumsikan, kekurangan pasokan gas tersebut sampai tahun 2010. Pada bagian lain diketahui banyaknya batubara berkalori rendah yang terkandung di Sumatera dan Kalimantan.

Pengembang PLTU Labuan, berdasar hasil lelang yang dilaksanakan panitia lelang proyek PLTU kelas 300 – 400 MW di PLN Kantor Pusat, Jakarta, adalah Chengda Engineering Corporation of China (Chengda).. Kriteria utama yang menentukan suatu perusahaan atau konsorsium perusahaan-perusahaan sebagai pemenang lelang tersebut adalah pengalaman atau kemampuannya membangun PLTU batubara minimal berkapasitas 200 MW dan kemampuan menyediakan dana minimal 85 % dari total biaya investasi yang dibutuhkan untuk membangun PLTU tersebut. Chengda sebelumnya membangun PLTU Cilacap di Jawa Tengah, dengan kapasitas juga 2 x 300 MW

Terlepas dari siapa atau perusahaan mana yang akan membangun, ada sejumlah hal yang perlu kita perhatikan, terutama warga masyarakat yang tinggal di daerah sekitar lokasi proyek PLTU tersebut. Dalam hal ini menyangkut masalah lingkungan hidup.

Seperti halnya proyek-proyek pembangunan PLTU lainnya, tidak akan dapat dihindari bahwa pembangunan PLTU tersebut juga akan memberi dampak, baik yang positif maupun yang negatif. Untuk mengidentifikasi dampak yang mungkin timbul dan mengantisipasi penanggulangan dampak negatifnya, maka studi lingkungan harus dilakukan oleh pelaksana studi atas nama atau atas pesanan pemilik proyek tersebut. Landasannya adalah Undang-undang No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang antara lain mengamanatkan bahwa setiap rencana yang diperkirakan akan berdampak penting terhadap lingkungan, wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Hal ini meliputi pembuatan Kerangka Acuan (KA), Analisis Dampak Lingkungan (Andal), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL). Penyusunannya mengacu ke Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Salah satu prinsip dalam studi lingkungan tersebut, dampak positif dari proyek pembangunan, lalu dilanjutkan dengan pengoperasian PLTU itu, harus diupayakan untuk dapat ditingkatkan. Sedangkan dampak negatifnya harus diupayakan untuk dikurangi hingga sekecil mungkin. Sebagaimana halnya proyek-proyek PLTU lain, dampak positif dari proyek PLTU Labuan juga banyak. Tetapi tidak akan dipaparkan dalam sajian ini. Dalam tulisan ini lebih focus ke masalah dampak negatif terhadap lingkungan yang mungkin/akan timbul dari jalannya proyek pembangunan, lalu dilanjutkan dengan pengoperasian PLTU tersebut, untuk kita cermati dan antisipasi, dengan mendorong pemilik dan pelaksana proyek PLTU itu mengendalikan, mengelola dan atau mengupayakan untuk memperkecil dampak negatif tersebut hingga serendah mungkin.

Acuan Proyek

Instalasi PLTU pada umumnya memiliki banyak peralatan. Karena itu membutuhkan lahan cukup luas. Sebagian dari sejumlah faktor utama yang menentukan apakah kapasitas PLTU Labuan bisa dibangun atau tidak dengan kapasitas 2 x 300 MW adalah adanya pasokan air untuk pendinginan dan adanya pemenuhan kebutuhan terhadap batubara, yang berkelanjutan. Air pendinginnya, besar kemungkinan akan diambilkan dari laut. Sedangkan batubara yang diperlukan sebagai bahan bakarnya akan didatangkan dari luar Jawa, dengan menggunakan kapal angkut batubara. Sebab itu pelabuhan khusus batubara dibutuhkan. Itulah sebabnya PLTU Labuan dibangun tidak jauh dari pantai.

Mengingat hal-hal seperti itu pula maka sebuah PLTU baru ekonomis untuk dibangun dengan kapasitas terpasang lebih dari 10 Mega Watt (MW) dengan prinsip, semakin besar kapasitas PLTU dibangun, harga proyeknya semakin ekonomis.

Meski begitu dalam hal pemilihan lokasinya, perlu menghindari daerah-daerah sensitif yang dapat menimbulkan dampak negatif penting. Diantaranya daerah yang terdapat peninggalan sejarah, yang padat penduduk dan atau yang memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang secara ekologis maupun ekonomis layak untuk dilestarikan.

Gas buang yang keluar dari cerobong PLTU umumnya berpotensi mengotori lingkungan. Untuk meminimalisasikannya, PLTU tersebut perlu dipasangi perangkap abu. Selain abu halus yang ditangkap di cerobong, ada juga bagian-bagian abu yang berukuran relatif besar. Abu ini biasanya jatuh dan ditangkap di bagian bawah ruang bakar.

Walaupun abunya telah ditangkap, kalangan ahli lingkungan dan ahli ketenagalistrikan menyadari (bandingkan Marsudi, 2003) bahwa gas buang yang keluar dari cerobong masih mengandung gas-gas yang kurang baik bagi kesehatan manusia, seperti SO2, NOx dan CO2. Kadar dari gas-gas ini tergantung pada mutu bahan bakarnya, dalam hal ini berupa batubara. Karena itu perlu dipasang pula alat penyaring gas. Sehingga kadar gas yang masuk ke udara tidak melampui batas yang diizinkan oleh pemerintah.

Berkaitan dengan semua itu, menjadi acuan proyek-proyek pembangunan pembangkitan PLN selama ini bahwa layak lingkungan merupakan factor penting untuk memperoleh lokasi yang tepat dan menentukan layak tidaknya proyek tersebut diwujudkan. Faktor-faktor penting lainnya menyangkut kelayakan teknis dan kelayakan finansial.

Untuk mengetahui bagaimana tingkat kelaikan faktor-faktor tersebut, studi kelayakan harus dilakukan oleh pihak pemilik proyek melalui tim dengan tenaga-tenaga profesional, melalu kontraktor rekakannya. Dan Amdal atas proyek tersebut merupakan bagian yang perlu mendapatkan izin dari pemerintah daerah. Disamping itu juga ada hal-hal lain yang berkaitan dengan perizinan dari pemerintah. Misal penjelasan mengenai perilaku masyarakat di sekitar lokasi proyek (sosio geografis), pembebasan tanah, retribusi, penetapan tarif bea masuk barang modal dan perpajakan (keringanan atau penghapusan pajak).

Dampak PLTU

Menjadi keharusan pada tahap mula bahwa studi lingkungan dilakukan menyangkut keadaan (rona atau warna) awal lingkungan pada tapak proyek dan sekitarnya. Kondisi awal lingkungan tersebut diinventarisasi untuk membuat prediksi dampak yang diakibatkan oleh kegiatan pembangunan dan pengoperasian PLTU. Keadaan dimaksud meliput keadaan fisik kimia, flora dan fauna serta sosial ekonomi dan budaya masyarakat di daerah sekitarnya .

Ada tiga tahap kegiatan penting berkaitan dengan akan adanya proyek PLTU Labuan. Yaitu tahap prakonstruksi, tahap konstruksi dan tahap operasi.

Menoleh ke kegiatan proyek-proyek serupa sebelumnya, dampak negatif yang menonjol dalam tahap prakonstruksi biasanya menyangkut pembebasan lahan untuk tapak proyek. Tetapi dengan pemberian ganti rugi yang memadai dan transparan, dampak ini umumnya dapat diatasi. Nahh kalau dikehendaki agar pemenang lelang proyek PLTU Labuan segera bisa membangun pembangkitannya, maka tim dari Pemerintah Pusat, PLN dan Pemerintah Daerah setempat harus bekerjasama dengan baik dalam mengupayakan pembebasan lahan.

Kemudian dampak negatif yang umum terjadi pada tahap konstruksi adalah kebisingan atas pengoperasian alat-alat berat untuk konstruksi. Disamping itu kemungkinan adanya debu dan erosi yang dapat menimbulkan pendangkalan perairan terdekat. Dampak ini bersifat sementara. Dampak ini bisa dikurangi dengan dilakukan pemantauan dan pengelolaan sedemikian rupa.

Sementara dampak negatif yang terjadi memasuki tahap operasi PLTU terutama menyangkut adanya gas buang SO2 dan NOx; abu (partikulat) batubara, limbah cair berupa air buangan yang mengandung senyawa kimia tertentu; limbah padat berupa abu (abu terbang dan abu dasar).

Gas dan abu, limbah pembakaran batubara tersebut dikeluarkan ke atmosfer (lapisan udara yang menyelubungi bumi) melalui cerobong gas asap. Besarnya emisi tersebut harus memenuhi baku mutu emisi yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Apabila nanti besaran emisi (SO2, NOx dan abu) dari PLTU itu melampaui baku mutu yang ditetapkan oleh KLH maka besaran emisi tersebut harus diupayakan untuk dikurangi menjadi lebih kecil dari ketetapan baku mutunya. Di pasaran, teknologi perangkat dan metode untuk itu sudah ada. Diantaranya dengan memasang alat kontrol emisi. Tentu pemasangan alat ini akan menambah biaya pembangunan PLTU.

Setelah melewati alat kontrol, kandungan polutan pada gas buang tersebut diharapkan lebih kecil, dan memenuhi ambang baku mutu emisi. Gas buang itu kemudian dikeluarkan dari cerobong, lalu disebarkan ke udara bebas. Kualitas udara yang dipengaruhi oleh buangan polutan dari PLTU tersebut juga harus memenuhi baku mutu udara yang ditetapkan oleh KLH.

Seperti telah disinggung diatas bahwa PLTU berbahan bakar batubara tersebut juga akan menghasilkan abu. Abu yang dihasilkan dari pembakaran batubara terdiri atas: 1) Abu dasar yang berasal dari bagian bawah ruang bekar. Jumlahnya kira-kira 20 % dari kandungan abu batubara; dan 2) Sekitar 80 % lainnya berupa abu terbang, yang sebagian besar bisa ditangkap dengan peralatan bernama ESP (Electrostatic Precipitator), menggunakan bag house filter.

Dengan pengelolaan tersendiri, abu itu kemudian bisa dimanfaatkan sebagai bahan campuran semen, pembuatan jalan, conblock dan bahan keramik. Apabila tidak dimanfaatkan, abu tersebut mesti dibuang di tempat pembuangan abu yang dirancang khusus. Sehingga tidak terjadi rembesan ke dalam air tanah, akibat turunnya hujan.

Pengoperasian PLTU juga bisa mengeluarkan limbah cair berupa air larian dari timbunan batubara dan abu, air limbah pembangkit. Misal limbah bahan kimia dari air ketel (blow down) dan limbah proses demineralisasi. Sebelum dibuang ke badan air, limbah cair sebagai keluaran dari operasi PLTU tersebut harus diolah terlebih dahulu di tempat pengolahan air limbah. Dan mutu air limbah yang akan dikeluarkan dari tempat pengolah air limbah tersebut harus memenuhi baku mutu air limbah.

Suhu air pendingin yang keluar dari kondenser PLTU akan naik. Umumnya, kenaikan suhu tersebut dirancang sekitar 8 derajat Celsius. Air ini kemudian akan dikembalikan ke sumber asalnya, yang dalam hal ini air laut. Namun sebelum sampai di laut, proses pemenuhan baku mutu air tersebut harus dilalui agar tidak menimbulkan dampak pada biota perairan laut bersangkutan. Untuk memenuhi persyaratan baku mutu itu perlu dibangun saluran air pendingin yang cukup panjang agar penurunan suhu itu terjadi.

Pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang berkaitan dengan limbah-limbah tersebut diatas harus dilakukan dengan baik secara berkelanjutan. Maksudnya agar limbah-limbah keluaran dari operasi PLTU tersebut tidak melampaui baku mutu lingkungan yang disyaratkan. Dalam kaitan ini, peran aktif, obyektif dan positif masyarakat yang tinggal di daerah sekitar lokasi proyek PLTU tersebut penting, untuk mengidentifikasi dampak yang mungkin/timbul dan mengantisipasi penanggulangan dampak negatifnya. **

Membongkar Bias Jender

FAKTA dan nalar superioritas laki-laki yang masih dominan selain karena dilingkupi kultur patriarki, juga karena berbagai stereotip yang cenderung menempatkan perempuan di posisi subordinasi dalam khazanah teks keagamaan Islam warisan abad pertengahan, atau yang lazim disebut "kitab kuning" di lingkup pondok pesantren di Indonesia. Salah satu nalar subordinasi itu bisa dilihat dari nalar dominan penafsiran kasus talak tiga (thalaq ba’in), perceraian yang tidak bisa dirujuki.

Pembahasan tentang bias jender kasus talak tiga bisa dimulai dari pembahasan tentang susunan gramatika bahasa Arab. Ketimpangan relasi laki-laki dan perempuan dalam khazanah Islam yang dipegang kuat oleh kalangan pemegang pemahaman berdasarkan teks salah satunya disebabkan susunan tata bahasa Arab secara jelas memperlihatkan "bias" jender, baik di kalimat isim (kata benda), kalimat fi’il (kata kerja), maupun shifat (sifat).

Dalam pandangan Islam, talak merupakan perbuatan yang boleh dilakukan, tetapi sangat dibenci Tuhan. Ini dibolehkan tentunya jika ikatan pernikahan sudah tidak mungkin dipertahankan. Beberapa ayat Al Quran yang bisa dijadikan dasar talak atau perceraian antara lain QS: 2 Ayat 229-231. Adapun ayat yang dijadikan pegangan hingga mengakibatkan bias jender perceraian adalah QS: 2 Ayat 230.

Ayat tersebut diartikan tim penerjemah Al Quran Departemen Agama (1990): "kemudian jika suami menalak istrinya (yang ketiga kalinya, penafsir), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian, jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah yang diterangkan kepada kaum (yang) mau mengetahui".

Ayat di atas hingga kini dijadikan pegangan bagi mayoritas umat Islam di seluruh dunia. Persoalan muncul manakala suami dan istri tadi masih saling mencintai, tetapi tidak bisa rujuk kembali tanpa didahului pernikahan istrinya dengan laki-laki lain. Atau jika pernikahan perempuan dengan laki-laki kedua ternyata tidak mendatangkan berkah, melainkan musibah, maka perempuan lagi-lagi menjadi korban.

Dalam Kitab Bulugh al-Maram (1982: 312) karya Ibnu Hajar al-Asqalani dijelaskan, istilah talak berarti melepaskan ikatan, terlepas dari perjanjian. Istilah ini merupakan bentuk turunan dari kata ithlaq yang berarti mengusir atau melepaskan ikatan. Dengan demikian, talak berarti melepaskan ikatan pernikahan dan menjadi bebas.

Dalam kasus talak (dan tentunya juga kasus rujuk), anggapan dominan adalah laki-laki mempunyai hak memutuskan talak dan mempunyai hak rujuk, sedangkan perempuan hanya menjadi obyek, yang setiap saat bisa ditalak atau dirujuk suami tanpa punya hak menolak permintaan talak atau hak meminta rujuk. Bahkan, dalam kasus talak tiga, jika ingin rujuk, perempuan harus menikah dan berhubungan badan dengan laki-laki lain sebelum kembali bersama dengan suami pertamanya.

Syarat itu di antaranya bisa dilihat dalam Kitab Fath al-Qarib al-Mujib (1986) karya Syaikh Muhammad bin Qasim yang lazim digunakan di dunia pesantren, dan Kitab Fath al-Mu’iin karya Syaikh Zainuddin Abdul Aziz al-Malibary (1986). Hal ini juga bisa dilihat di kitab kumpulan hadis Shahih Bukhary (1980) karya Imam Bukhary (jilid III, hal: 134). Di situ dijelaskan, saat Rasulullah Muhammad ditanya tentang hukum perempuan yang sudah diceraikan suami pertama, kemudian menikah dengan laki-laki lain lalu cerai dan ingin rujuk ke suami pertama, Rasulullah mengatakan tidak boleh rujuk kecuali sudah berhubungan badan dengan suaminya yang kedua.

Upaya pembongkaran

Para ahli hukum Islam berbeda pendapat soal talak tiga atau talak yang tidak bisa dirujuk. Perbedaan ini terkait dengan dua persoalan mendasar. Pertama, mengenai keabsahan dan argumentasi keberadaan talak tiga. Kedua, waktu talak, yaitu apakah talak tiga bisa dijatuhkan dalam satu kesempatan atau tidak.

Untuk yang pertama, Imam Abu Hanifah dan Imam Malik menyebut sebagai talak yang tak pernah diajarkan Rasulullah. Imam Ahmad bin Hanbal setuju dengan pendapat ini. Imam Syafii menilai bentuk talak tiga diperbolehkan dan merupakan hak suami.

Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, seperti dikutip Asghar Ali Engineer dalam The Rights of Women in Islam (1992, hal 175), menggunakan masa kepemimpinan Rasulullah, Abu Bakar, dan dua tahun kepemimpinan Umar yang melarang talak tiga sekaligus sebagai dasar pertimbangan hukum. Adapun Imam Syafii memakai keputusan Umar bin Khattab yang membolehkan talak tiga karena alasan sosio-antropologis saat itu sebagai dasar.

Untuk yang kedua, terjadi perbedaan di antara Imam Abu Hanifah dan Imam Malik dengan Imam Ahmad bin Hanbal. Imam Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat, talak satu terjadi jika diucapkan talak tiga sekaligus. Dengan kata lain, keduanya menyepakati adanya talak tiga. Hanya masalah waktu saja yang berbeda. Begitu pula Imam Syafii yang menganggapnya sebagai suatu yang dibolehkan.

Namun, Imam Ahmad bin Hanbal menolak pendapat ketiga imam di atas. Menurut dia, tidak ada tempat bagi talak tiga dalam Al Quran, yang hanya mengizinkan thalaq raj’i, talak yang bisa dirujuki. Karena itu, jika ada seseorang mengaku telah menjatuhkan keputusan talak tiga kepada istrinya, Imam Hanbal meminta agar talak itu diperlakukan selayaknya talak satu sehingga pasangan suami-istri punya hak untuk kembali melangsungkan pernikahan tanpa ada ketakutan melanggar ketentuan Tuhan. Pendapat sejenis bisa dilihat di Kitab Fatawa Ibnu Taimiyyah (1991, jilid III, hal 22).

Mengenai dasar pertimbangan Imam Syafii memakai keputusan Umar bin Khattab yang membolehkan talak tiga di akhir masa jabatannya, Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Kitab Bulugh al-Maram (1982, hal 314) menjelaskan, latar historisitas pembolehan talak tiga karena kebanyakan umat Islam saat itu tidak sabar untuk menahan diri melakukan talak atau perceraian. Boleh dibilang, Imam Syafii waktu itu menggunakan rumusan "penetapan suatu hukum bisa berubah sebab perbedaan waktu dan tempat".

Tentang kebijakan Umar bin Khattab membolehkan talak tiga, Umar Ahmad Utsmani dalam Fiqh Alquran (1980, jilid II, hal: 237-9) menjelaskan, seusai melakukan penaklukan Siria, Mesir, dan tempat lain, kebanyakan tawanan adalah perempuan cantik sehingga membuat orang Arab berkehendak menikahi mereka. Mereka tersebut tidak mau dimadu sehingga mensyaratkan laki-laki menceraikan istrinya terdahulu tiga kali sekaligus agar tidak dapat dirujuki.

Orang Arab akhirnya menuruti kemauan tadi, tetapi mereka ternyata juga merujuki istri yang terdahulu sehingga menimbulkan banyak perselisihan. Hal ini dikarenakan pemahaman yang sempit terhadap QS: 2 Ayat 230. Untuk mengatasi kesulitan ini, Umar bin Khattab memberlakukan kebijakan talak tiga sekaligus sebagai talak yang tidak bisa dirujuki. Sejak itu, kenyataan ini diyakini menjadi bagian integral dari syariat Islam.

Ahmad Utsmani menjelaskan, seseorang hanya dapat menjatuhkan talak satu dalam satu waktu. Dengan memaknai QS: 2 Ayat 229 berbunyi "al-thalaqu marratain..." (talak dapat dinyatakan dua kali...), ia berpendapat antara talak yang pertama dan yang kedua harus ada tenggang waktu. Talak atau perceraian dinilainya bisa dilakukan satu kali pada satu waktu dan di waktu yang lain. Setelah itu, perempuan bisa menikah dengan laki-laki lain atau kembali ke suaminya, setelah masa idah tiga bulan telah habis. Ia mengatakan, sekali talak dikatakan, perceraian terjadi. Karena itu, tidak perlu diulangi sampai tiga kali dalam tiga bulan, di setiap akhir masa menstruasi istrinya (hal 220-221).

Dengan demikian, keputusan Umar bin Khattab di atas lebih bersifat keputusan politis, yaitu untuk memenuhi keadaan situasi tertentu, dan bukan murni ajaran Tuhan yang dilewatkan Rasulullah Muhammad. Sangat disayangkan sekali jika sampai hari ini ternyata tafsir talak tiga masih berkembang pesat dan menjadi tafsir dominan oleh karena didikte tradisi lama, atau dipengaruhi struktur patriarki, atau pertimbangan "politis" sesaat.

Jika dominasi nalar superioritas laki-laki yang didukung teks klasik mengharuskan perempuan rela dinikahi laki-laki lain untuk bisa kembali ke suaminya yang pertama, bukankah lagi-lagi perempuan menjadi obyek superioritas laki-laki? Inilah yang menjadi agenda pembaruan hukum, terutama bagi kalangan pesantren yang memahami dan menguasai khazanah intelektual abad pertengahan.

Ada Radiasi di sekitar Kita !

Tahukah anda bahwa di sekitar kita ternyata banyak sekali terdapat radiasi ? Disadari ataupun tanpa disadari ternyata disekitar kita baik dirumah, di kantor, dipasar, dilapangan, maupun ditempat-tempat umum lainnya ternyata banyak sekali radiasi. Yang perlu diketahui selanjutnya adalah sejauh mana radiasi tersebut dapat berpengaruh buruk terhadap kesehatan kita.

Radiasi dalam istilah fisika, pada dasarnya adalah suatu cara perambatan energi dari sumber energi ke lingkungannya tanpa membutuhkan medium. Beberapa contohnya adalah perambatan panas, perambatan cahaya, dan perambatan gelombang radio. Selain radiasi, energi dapat juga dipindahkan dengan cara konduksi, kohesi, dan konveksi. Dalam istilah sehari-hari radiasi selalu diaso-siasikan sebagai radioaktif sebagai sumber radiasi pengion.

Secara garis besar ada dua jenis radiasi yakni radiasi pengion dan radiasi bukan pengion. Radiasi pengion adalah radiasi yang dapat menyebabkan proses terlepasnya electron dari atom sehingga terbentuk pasangan ion. Karena sifatnya yang dapat mengionisasi bahan termasuk tubuh kita maka radiasi pengion perlu diwaspadai adanya utamanya mengenai sumber-sumbernya, jenis-jenis, sifat-nya, akibatnya, dan bagaimana cara menghindarinya.

SUMBER RADIASI

Berdasarkan asalnya sumber radiasi pengion dapat dibedakan menjadi dua yaitu sumber radiasi alam yang sudah ada di alam ini sejak terbentuknya, dan sumber radiasi buatan yang sengaja dibuat oleh manusia untuk berbagai tujuan.

Sumber Radiasi Alam

Radiasi yang dipancarkan oleh sumber radiasi alam disebut juga sebagai radiasi latar belakang. Radiasi ini setiap harinya memajan manusia dan merupakan radiasi terbesar yang diterima oleh manusia yang tidak bekerja di tempat yang menggunakan radioaktif atau yang tidak menerima radiasi berkaitan dengan kedokteran atau kesehatan. Radiasi latar belakang yang diterima oleh seseorang dapat berasal dari tiga sumber utama yaitu :

1.Sumber radiasi kosmis

Radiasi kosmis berasal dari angkasa luar, sebagian berasal dari ruang antar bintang dan matahari. Radiasi ini terdiri dari partikel dan sinar yang berenergi tinggi dan berinteraksi dengan inti atom stabil di atmosfir membentuk inti radioaktif seperti Carbon -14, Helium-3, Natrium -22, dan Be-7. Atmosfir bumi dapat mengurangi radiasi kosmik yang diterima oleh manusia. Tingkat radiasi dari sumber kosmik ini bergantung kepada ketinggian, yaitu radiasi yang diterima akan semakin besar apabila posisinya semakin tinggi. Tingkat radiasi yang diterima seseorang juga tergantung pada letak geografisnya.

2.Sumber radiasi terestrial

Radiasi terestrial secara natural dipancarkan oleh radionuklida di dalam kerak bumi. Radiasi ini dipancarkan oleh radionuklida yang disebut primordial yang ada sejak terbentuknya bumi. Radionuklida yang ada dalam kerak bumi terutama adalah deret Uranium, yaitu peluruhan berantai mulai dari Uranium-238, Plumbum-206, deret Actinium (U-235, Pb-207) dan deret Thorium (Th-232, Pb-208).

Radiasi teresterial terbesar yang diterima manusia berasal dari Radon (R-222) dan Thoron (Ra-220) karena dua radionuklida ini berbentuk gas sehingga bisa menyebar kemana-mana.

Tingkat radiasi yang diterima seseorang dari radiasi teresterial ini berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lain bergantung pada konsentrasi sumber radiasi di dalam kerak bumi. Beberapa tempat di bumi yang memiliki tingkat radiasi diatas rata-rata misalnya Pocos de Caldas dan Guarapari di Brazil, Kerala dan Tamil Nadu di India, dan Ramsar di Iran.

3.Sumber radiasi internal yang berasal dari dalam tubuh sendiri

Sumber radiasi ini ada di dalam tubuh manusia sejak dilahirkan, dan bisa juga masuk ke dalam tubuh melalui makanan, minuman, pernafasan, atau luka. Radiasi internal ini terutama diterima dari radionuklida C-14, H-3, K-40, Radon, selain itu masih ada sumber lain seperti Pb-210, Po-210, yang banyak berasal dari ikan dan kerang-kerangan. Buah-buahan biasanya mengandung unsur K-40.

Sumber Radiasi Buatan

Sumber radiasi buatan telah diproduksi sejak abad ke 20, dengan ditemuk-annya sinar-X oleh WC Rontgen. Saat ini sudah banyak sekali jenis dari sumber radiasi buatan baik yang berupa zat radioaktif dan sumber pembangkit radiasi (pesawat sinar-X dan akselerator).

Radioaktif dapat dibuat oleh manusia berdasarkan reaksi inti antara nuklida yang tidak radioaktif dengan neutron atau biasa disebut sebagai reaksi fisi di dalam reactor atom. Radionuklida buatan ini bisa memancarkan radiasi alpha, beta, gamma dan neutron.

Sumber pembangkit radiasi yang lazim dipakai yakni pesawat sinar-X dan akselerator. Proses terbentuknya sinar-X adalah sebagai akibat adanya arus listrik pada filamen yang dapat menghasilkan awan elektron di dalam tabung hampa. Sinar-X akan terbentuk ketika berkas elektron ditumbukan pada bahan target.

Radioaktifitas yang Direkomendasikan

Berdasarkan ketentuan International Atomic Energy Agency, zat radioaktif adalah setiap zat yang memancarkan radiasi pengion dengan aktifitas jenis lebih besar dari 70 kilo Becquerel per kilogram atau 2 nanocurie per gram. Angka 70 kBq/kg atau 2 nCi/g tersebut merupakan patokan dasar untuk suatu zat dapat disebut zat radioaktif pada umumnya. Jadi untuk radioaktif dengan aktifitas lebih kecil dapat dianggap sebagai radiasi latar belakang.

Besarnya dosis radiasi yang diterima oleh pekerja radiasi tidak boleh melebihi 50 milisievert per tahun, sedangkan besarnya dosis radiasi yang diterima oleh masyarakat pada umumnya tidak boleh lebih dari 5 milisievert per tahun.

Kiat Mengurangi Pajanan

Kiat mengurangi pajanan terhadap radiasi eksterna, yakni radiasi yang berasal dari luar tubuh dapat dilakukan dengan meggunakan satu atau beberapa teknik berikut :

1.Waktu, yakni meminimalkan waktu pajanan

2.Jarak, memaksimalkan jarak dari sumber radiasi

3.Penahan, memasang penahan radiasi yang sesuai dengan jenis radiasi.

Sedangkan pengendalian terhadap bahaya radiasi interna adalah dengan mencegah masuknya zat radioaktif ke dalam tubuh dan membatasi penye-baran zat radioaktif dari sumber ke dalam tubuh pekerja.