Tuesday, March 6, 2007

Membongkar Bias Jender

FAKTA dan nalar superioritas laki-laki yang masih dominan selain karena dilingkupi kultur patriarki, juga karena berbagai stereotip yang cenderung menempatkan perempuan di posisi subordinasi dalam khazanah teks keagamaan Islam warisan abad pertengahan, atau yang lazim disebut "kitab kuning" di lingkup pondok pesantren di Indonesia. Salah satu nalar subordinasi itu bisa dilihat dari nalar dominan penafsiran kasus talak tiga (thalaq ba’in), perceraian yang tidak bisa dirujuki.

Pembahasan tentang bias jender kasus talak tiga bisa dimulai dari pembahasan tentang susunan gramatika bahasa Arab. Ketimpangan relasi laki-laki dan perempuan dalam khazanah Islam yang dipegang kuat oleh kalangan pemegang pemahaman berdasarkan teks salah satunya disebabkan susunan tata bahasa Arab secara jelas memperlihatkan "bias" jender, baik di kalimat isim (kata benda), kalimat fi’il (kata kerja), maupun shifat (sifat).

Dalam pandangan Islam, talak merupakan perbuatan yang boleh dilakukan, tetapi sangat dibenci Tuhan. Ini dibolehkan tentunya jika ikatan pernikahan sudah tidak mungkin dipertahankan. Beberapa ayat Al Quran yang bisa dijadikan dasar talak atau perceraian antara lain QS: 2 Ayat 229-231. Adapun ayat yang dijadikan pegangan hingga mengakibatkan bias jender perceraian adalah QS: 2 Ayat 230.

Ayat tersebut diartikan tim penerjemah Al Quran Departemen Agama (1990): "kemudian jika suami menalak istrinya (yang ketiga kalinya, penafsir), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian, jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah yang diterangkan kepada kaum (yang) mau mengetahui".

Ayat di atas hingga kini dijadikan pegangan bagi mayoritas umat Islam di seluruh dunia. Persoalan muncul manakala suami dan istri tadi masih saling mencintai, tetapi tidak bisa rujuk kembali tanpa didahului pernikahan istrinya dengan laki-laki lain. Atau jika pernikahan perempuan dengan laki-laki kedua ternyata tidak mendatangkan berkah, melainkan musibah, maka perempuan lagi-lagi menjadi korban.

Dalam Kitab Bulugh al-Maram (1982: 312) karya Ibnu Hajar al-Asqalani dijelaskan, istilah talak berarti melepaskan ikatan, terlepas dari perjanjian. Istilah ini merupakan bentuk turunan dari kata ithlaq yang berarti mengusir atau melepaskan ikatan. Dengan demikian, talak berarti melepaskan ikatan pernikahan dan menjadi bebas.

Dalam kasus talak (dan tentunya juga kasus rujuk), anggapan dominan adalah laki-laki mempunyai hak memutuskan talak dan mempunyai hak rujuk, sedangkan perempuan hanya menjadi obyek, yang setiap saat bisa ditalak atau dirujuk suami tanpa punya hak menolak permintaan talak atau hak meminta rujuk. Bahkan, dalam kasus talak tiga, jika ingin rujuk, perempuan harus menikah dan berhubungan badan dengan laki-laki lain sebelum kembali bersama dengan suami pertamanya.

Syarat itu di antaranya bisa dilihat dalam Kitab Fath al-Qarib al-Mujib (1986) karya Syaikh Muhammad bin Qasim yang lazim digunakan di dunia pesantren, dan Kitab Fath al-Mu’iin karya Syaikh Zainuddin Abdul Aziz al-Malibary (1986). Hal ini juga bisa dilihat di kitab kumpulan hadis Shahih Bukhary (1980) karya Imam Bukhary (jilid III, hal: 134). Di situ dijelaskan, saat Rasulullah Muhammad ditanya tentang hukum perempuan yang sudah diceraikan suami pertama, kemudian menikah dengan laki-laki lain lalu cerai dan ingin rujuk ke suami pertama, Rasulullah mengatakan tidak boleh rujuk kecuali sudah berhubungan badan dengan suaminya yang kedua.

Upaya pembongkaran

Para ahli hukum Islam berbeda pendapat soal talak tiga atau talak yang tidak bisa dirujuk. Perbedaan ini terkait dengan dua persoalan mendasar. Pertama, mengenai keabsahan dan argumentasi keberadaan talak tiga. Kedua, waktu talak, yaitu apakah talak tiga bisa dijatuhkan dalam satu kesempatan atau tidak.

Untuk yang pertama, Imam Abu Hanifah dan Imam Malik menyebut sebagai talak yang tak pernah diajarkan Rasulullah. Imam Ahmad bin Hanbal setuju dengan pendapat ini. Imam Syafii menilai bentuk talak tiga diperbolehkan dan merupakan hak suami.

Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, seperti dikutip Asghar Ali Engineer dalam The Rights of Women in Islam (1992, hal 175), menggunakan masa kepemimpinan Rasulullah, Abu Bakar, dan dua tahun kepemimpinan Umar yang melarang talak tiga sekaligus sebagai dasar pertimbangan hukum. Adapun Imam Syafii memakai keputusan Umar bin Khattab yang membolehkan talak tiga karena alasan sosio-antropologis saat itu sebagai dasar.

Untuk yang kedua, terjadi perbedaan di antara Imam Abu Hanifah dan Imam Malik dengan Imam Ahmad bin Hanbal. Imam Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat, talak satu terjadi jika diucapkan talak tiga sekaligus. Dengan kata lain, keduanya menyepakati adanya talak tiga. Hanya masalah waktu saja yang berbeda. Begitu pula Imam Syafii yang menganggapnya sebagai suatu yang dibolehkan.

Namun, Imam Ahmad bin Hanbal menolak pendapat ketiga imam di atas. Menurut dia, tidak ada tempat bagi talak tiga dalam Al Quran, yang hanya mengizinkan thalaq raj’i, talak yang bisa dirujuki. Karena itu, jika ada seseorang mengaku telah menjatuhkan keputusan talak tiga kepada istrinya, Imam Hanbal meminta agar talak itu diperlakukan selayaknya talak satu sehingga pasangan suami-istri punya hak untuk kembali melangsungkan pernikahan tanpa ada ketakutan melanggar ketentuan Tuhan. Pendapat sejenis bisa dilihat di Kitab Fatawa Ibnu Taimiyyah (1991, jilid III, hal 22).

Mengenai dasar pertimbangan Imam Syafii memakai keputusan Umar bin Khattab yang membolehkan talak tiga di akhir masa jabatannya, Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Kitab Bulugh al-Maram (1982, hal 314) menjelaskan, latar historisitas pembolehan talak tiga karena kebanyakan umat Islam saat itu tidak sabar untuk menahan diri melakukan talak atau perceraian. Boleh dibilang, Imam Syafii waktu itu menggunakan rumusan "penetapan suatu hukum bisa berubah sebab perbedaan waktu dan tempat".

Tentang kebijakan Umar bin Khattab membolehkan talak tiga, Umar Ahmad Utsmani dalam Fiqh Alquran (1980, jilid II, hal: 237-9) menjelaskan, seusai melakukan penaklukan Siria, Mesir, dan tempat lain, kebanyakan tawanan adalah perempuan cantik sehingga membuat orang Arab berkehendak menikahi mereka. Mereka tersebut tidak mau dimadu sehingga mensyaratkan laki-laki menceraikan istrinya terdahulu tiga kali sekaligus agar tidak dapat dirujuki.

Orang Arab akhirnya menuruti kemauan tadi, tetapi mereka ternyata juga merujuki istri yang terdahulu sehingga menimbulkan banyak perselisihan. Hal ini dikarenakan pemahaman yang sempit terhadap QS: 2 Ayat 230. Untuk mengatasi kesulitan ini, Umar bin Khattab memberlakukan kebijakan talak tiga sekaligus sebagai talak yang tidak bisa dirujuki. Sejak itu, kenyataan ini diyakini menjadi bagian integral dari syariat Islam.

Ahmad Utsmani menjelaskan, seseorang hanya dapat menjatuhkan talak satu dalam satu waktu. Dengan memaknai QS: 2 Ayat 229 berbunyi "al-thalaqu marratain..." (talak dapat dinyatakan dua kali...), ia berpendapat antara talak yang pertama dan yang kedua harus ada tenggang waktu. Talak atau perceraian dinilainya bisa dilakukan satu kali pada satu waktu dan di waktu yang lain. Setelah itu, perempuan bisa menikah dengan laki-laki lain atau kembali ke suaminya, setelah masa idah tiga bulan telah habis. Ia mengatakan, sekali talak dikatakan, perceraian terjadi. Karena itu, tidak perlu diulangi sampai tiga kali dalam tiga bulan, di setiap akhir masa menstruasi istrinya (hal 220-221).

Dengan demikian, keputusan Umar bin Khattab di atas lebih bersifat keputusan politis, yaitu untuk memenuhi keadaan situasi tertentu, dan bukan murni ajaran Tuhan yang dilewatkan Rasulullah Muhammad. Sangat disayangkan sekali jika sampai hari ini ternyata tafsir talak tiga masih berkembang pesat dan menjadi tafsir dominan oleh karena didikte tradisi lama, atau dipengaruhi struktur patriarki, atau pertimbangan "politis" sesaat.

Jika dominasi nalar superioritas laki-laki yang didukung teks klasik mengharuskan perempuan rela dinikahi laki-laki lain untuk bisa kembali ke suaminya yang pertama, bukankah lagi-lagi perempuan menjadi obyek superioritas laki-laki? Inilah yang menjadi agenda pembaruan hukum, terutama bagi kalangan pesantren yang memahami dan menguasai khazanah intelektual abad pertengahan.

No comments: